Belajar Manajemen

Profesional di Perusahaan Keluarga

Tidak mudah bagi para profesional bekerja di perusahaan keluarga, terlebih mencapai posisi nomor satu.

Oleh: Evi Ratnasari

Ruang kerja Handaka Santosa, CEO PT Manggala Gelora Perkasa, pengelola Senayan City di Jakarta Selatan, jauh dari kesan mewah. Dindingnya tidak permanen, hanya gypsum dilapis wallpaper. Di ruangan berukuran 3×4 meter persegi di lower ground Senayan City itu tidak ada sofa empuk untuk menerima tamu.“Di sini yang penting bukan ruangannya, tapi apa yang bisa dihasilkannya,” seloroh Handaka.
Handaka telah lima tahun menjabat CEO Senayan City, sebuah proyek prestisius dari Agung Podomoro Group (APG), kelompok usaha properti yang dimiliki keluarga Haliman. Saat ini bisnis grup ini dikelola oleh generasi keduanya, yakni Trihatma Kusuma Haliman. Senayan City adalah properti berkonsep one stop shopping, terdiri atas pusat perbelanjaan kelas atas dilengkapi perkantoran, 250 kamar hotel, dan 67 unit apartemen. Proyek di atas lahan 4,8 hektar itu dibangun dengan dana hingga Rp1,5 triliun.
Selain Senayan City, alumni Universitas Diponegoro ini juga sempat dipercaya memegang dua proyek properti bernilai triliunan rupiah, Kuningan City dan Podomoro City. Apa yang membuat Handaka bisa menduduki posisi tersebut?

***
Setiap pemilik perusahaan pasti ingin perusahaan yang didirikannya berkembang dan memiliki banyak anak usaha. Ketika perusahaan berkembang persoalan manajerial pun mulai meningkat. Misalnya, kepada siapa sang pemilik mesti mempercayakan pengelolaan anak-anak usahanya. Pemilik biasanya ingin menyerahkan pengelolaan kepada anggota keluarganya sendiri. Tapi jika perusahaan terus bertambah, apakah anggota keluarga yang ada memadai?
Persoalan lain menyangkut kompetensi anggota keluarga. Jika tidak kompeten, tentu sangat berisiko. Di saat seperti inilah perusahaan keluarga membutuhkan profesional dari luar.
Faktor lain yang mewarnai hadirnya CEO atau profesional di perusahaan keluarga terkait suksesi. Mereka berperan sebagai “Jembatan Suksesi”. Ini terjadi kala sang pemilik ingin mengurangi peran dalam mengelola perusahaan, tapi anak-anaknya masih terlalu muda dan belum berpengalaman. Pemilik lazim meminta CEO atau eksekutif profesional untuk membimbing, sampai generasi penerus siap dan mampu mengelola perusahaan.
Terakhir, kehadiran profesional dibutuhkan kala perusahaan sedang bersiap-siap untuk go public.
Fenomena meningkatnya kebutuhan profesional di perusahaan keluarga mulai terasa paskakrisis 1998 dan krisis 2008 lalu. PT Amrop Hever Indonesia, perusahaan pencari eksekutif papan atas di Indonesia, mengungkapkan, sejak 2002 mereka mendapatkan order dari perusahaan keluarga untuk mencari eksekutif profesional. Perusahaan-perusahaan tersebut umumnya beromzet Rp 100 miliar – Rp 500 miliar per tahun. Saat ini ada 30 perusahaan keluarga yang menjadi klien Amrop. “Krisis 1998 memberikan pelajaran berharga bagi perusahaan keluarga di Indonesia. Banyak perusahaan konglomaret yang babak belur karena tidak dikelola secara profesional,” ucap Irham Dilmy, Managing Partner Amrop Hever Indonesia.
Hal serupa terjadi di Jakarta Consulting Group (JCG), konsultan bisnis keluarga. Salah satu divisi di JCG, yakni divisi head hunter, mencatat jika tiga-empat tahun yang lalu permintaan eksekutif profesional baru pada level manajer atau general manager. Belakangan permintaannya meningkat hingga level direksi bahkan CEO. Pada 2009 JCG memasok 19 profesional pada level direksi, atau tumbuh 46% dari tahun lalu. Perusahaan keluarga yang menjadi klien JCG memiliki skala bisnis sekitar Rp2,5 triliun –Rp 20 triliun, dan sebagian dari mereka berkeinginan untuk go public.

***
Krisis 1998 seakan menjadi batu ujian kemampuan maupun loyalitas dari para profesional yang bekerja di perusahaan keluarga. Di beberapa kelompok usaha, mereka berperan besar dalam menyelamatkan perusahaan.
Contohnya di Sinar Mas Group, krisis 1998 membuat kelompok usaha itu nyaris lumpuh karena terbelit utang US$ 13,5 miliar. Gandi Sulistiyanto, profesional yang bergabung di Sinar Mas pada 1992 dan kini menjabat sebagai managing director, memainkan peran kunci dalam restrukturisasi utang dari konglomerasi yang didirikan oleh Eka Tjipta Widjaja. Ketika itu Sulis-pangilan akrab Gandi Sulistiyanto, bahu membahu dengan putra bungsu Eka Tjipta, Franky Widjaja, bernegosiasi dengan lebih dari seratus kreditur dari 11 negara. “Ini adalah restrukturisasi utang terbesar yang dialami perusahaan di negara berkembang. Kami juga tidak meminta haircut sedikit pun,” ucap Sulis, bangga. Ketika Sinar Mas sedang dibelit masalah, pria kelahiran Pekalongan ini rela gajinya tidak dibayar penuh.
Berkat restrukturisasi utang tersebut, Sinar Mas dapat terus melanjutkan bisnis mereka. Seluruh utang Sinar Mas bakal lunas pada 2010. Total asset perusahaan Sinar Mas yang sudah terdaftar di pasar saham juga mengalami peningkatan menjadi US$11,2 miliar. Jumlah karyawan pun bertambah dari 200.000-an karyawan menjadi 300.000-an.
Selain restrukturisasi utang, Sulis juga berperan dalam melakukan re-organisasi Sinar Mas. Sejak didirikan pada 1959 oleh Eka Tjipta, Sinar Mas dengan cepat beranak-pinak lalu menjelma menjadi holding company dengan ratusan anak usaha. Eka Tjipta, sebagai Chairman, merupakan penentu dari setiap keputusan bisnis.
Pada tahun 2003, Sinar Mas melakukan perubahan organisasi. Mereka membubarkan holding company dan menggantinya dengan President Office yang dipimpin oleh Sulis. Lalu, semua anak usaha dikelompokkan dalam empat divisi, yakni divisi pulp & paper yang dipimpin Teguh Ganda Widjaja, putra sulung Eka Tjipta, divisi properti dan real estate dinakhkodai Muktar Widjaja, divisi agribisnis dipegang Franky Widaja, dan divisi jasa keuangan yang dikelola Indra Widjaja. Di President Office, Sulis bertugas memelihara sinergi dari empat divisi tersebut.
Sinar Mas adalah kelompok usaha yang beruntung lantaran merekrut eksekutif profesional sebelum krisis. Kelompok usaha lain yang memperoleh keuntungan serupa adalah Olympic Group. Di sana ada Eddy Gunawan yang menjadi CEO pada saat krisis 1998. Kala itu utang Olympic menggelembung sepuluh kali lipat dari penjualannya. Kelompok usaha yang didirikan oleh Au Bintoro ini pun limbung. Eddy maju ke depan. Ia mewakili pemilik perusahaan bernegosiasi dengan 23 kreditur. “Saya diberi kewenangan penuh untuk mengambil keputusan-keputusan strategis yang menyangkut perusahaan, tak ada intervensi sedikit pun dari pemilik,” kata Eddy, yang bergabung dengan Olympic Group sejak 1986 dan memulai karir sebagai staf akunting. Proposal restrukturisasi Olympic pun disetujui para kreditur dan perusahaan pun dapat terus beroperasi. Kini, Olympic mampu menghasilkan 3 juta unit produk furnitur knock down per tahun, alias yang terbesar di Indonesia.
***
Perusahaan lain yang merasakan manfaat dari kehadiran profesional adalah APG dan Blue Bird Group (BBG). Menurut Trihatma K Haliman, Chairman dan pemilik APG, skala bisnis yang semakin besar mengharuskan ia merekrut profesional yang memiliki kinerja mumpuni. Saat ini APG mengelola 52 proyek yang masing-masing bernilai triliunan rupiah. “Saya tidak mungkin bisa menjalankan bisnis seorang diri, karena itu saya butuh bantuan profesional,” ujarnya.
Trihatma menambahkan, meskipun perusahaannya milik keluarga bukan berarti harus dikelola oleh anggota keluarga.”Saya akan memberikan kesempatan kepada orang yang memiliki kemampuan,” cetusnya. Agar perusahaannya terus bertahan dan semakin berjaya, ia berencana membawa APG ke lantai bursa dalam waktu dekat. Kemajuan Blue Bird hingga menjadi perusahaan taksi terbesar di Indonesia menurut Purnomo Prawiro, pemilik sekaligus Presiden Direktur BBG juga tak lepas dari peran seorang profesional bernama Handang Agusni.
Handang bergabung di BBG sejak 1979. Ia memulai kariernya sebagai karyawan biasa dan rajin mempelajari semua hal yang ada di BBG, seperti urusan bengkel, teknik hingga administrasi. Itu membuat Handang menguasai semua seluk beluk perusahaan ini. “Dia loyal dan tahu semua “isi perut” Blue Bird,” kata Purnomo.
Sebagai eksekutif profesional yang sangat memahami BBG, Handang dipercaya untuk membenahi sistem di perusahaan. Ia kemudian membuat aturan hari libur dan sistem lembur. Sistem internal yang kondusif membuat BBG terus berkembang. Ini tercermin dari jumlah taksi BBG yang ketika Handang bergabung baru 400-an, kini sudah lebih dari 12.000 unit.
Kinerja Handanglah yang menghantarkannya ke posisi direktur. Sebagai orang kedua di BBG, Handang ditugaskan mengawal BBG untuk go public. ”Saya diminta mengawal rencana IPO Blue Bird dalam dua-tiga tahun ke depan,” cetus Handang. Selain itu, dia juga diminta membawahi dan membimbing empat vice-president yang notabene merupakan anggota keluarga pemilik.

***
Meski kehadiran CEO dari luar mempunyai dampak positif bagi perusahaan, itu tak serta merta membuat keluarga menerima begitu saja. Resistensi tetap terjadi. Mengapa?
Menurut AB Susanto, Managing Partner JCG, pada 2004 mereka melakukan survei terhadap 87 perusahaan keluarga di Indonesia. Hasil survei menunjukkan mayoritas pemilik ingin agar anak-anak merekalah yang mengelola perusahaan. Begitu pula dengan anak-anak pemilik, mereka ingin bekerja di perusahaan keluarganya. Fakta inilah yang menjadi pemicu resistensi. Padahal resistensi bukan hanya datang dari keluarga pemilik, tapi juga eksekutif yang telah lama bekerja di perusahaan tersebut.
Inilah yang dialami oleh Sulis. Dia menyadari posisinya sebagai president office berpotensi memunculkan kecemburuan, baik dari anggota keluarga maupun professional lain. Sulis berusaha untuk meredamnya, dengan tidak melakukan tugas di luar kewenangannya. “Biasanya konflik itu muncul kalau kita sudah merasa besar dan menabrak batas. Saya tahu tugas saya di sini” ujarnya.
Handaka juga menyadari adanya resistensi dari karyawan lain, karena dia bukan profesional yang merintis karir dari awal di APG,. Namun, Handaka tidak ambil pusing. Baginya yang terpenting adalah mendapatkan kepercayaan dari pemilik dan menunjukan kinerja yang baik.
Saat Handaka bergabung dengan Senayan City pada 2005, ia dibebani target berat. Pertama, ia harus bisa membuat proyek yang bertahun-tahun macet selesai tepat waktu. Kedua, mengubah citra proyek mangkrak ini, hingga disukai oleh tenant maupun konsumen. Memenuhi target ini tidak mudah, terlebih karena persis di seberang Senayan City ada Plaza Senayan yang juga membidik pasar menengah atas. Selain itu, analis properti menilai pusat perbelanjaan saat itu sudah kelebihan pasok, sehingga ada beberapa yang tutup. Tapi, akhirnya Handaka mampu menarik tenant-tenant ternama seperti Zara, Massimo Dutti, dan Raoul. Kini pengunjung Senayan City bisa mencapai 80.000-90.000 orang perhari.

***
Menyimak kisah Handaka Santosa, Gandi Sulistiyanto, Eddy Gunawan dan Handang Agusni, Fortune Indonesia menemukan adanya beberapa kesamaan dari CEO atau eksekutif profesional yang dipercaya untuk memimpin dalam perusahaan keluarga.
Pertama, loyalitas. Loyalitas tidak hanya tercermin dari lama mereka bekerja, tapi juga kesetiaan untuk bertahan, terlebih ketika perusahaan sedang menghadapi masa-masa sulit.
Kedua, mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi perusahaan. Misalnya, saat perusahaan menghadapi masalah finansial serius. Kala itu terjadi, mereka tidak angkat kaki dan pindah ke perusahaan lain, tapi membantu menyelesaikan masalah.
Ketiga, harus mampu membawa perubahan yang signifikan bagi perusahaan. Sulis dan Eddy mampu menyelesaikan utang perusahaan. Sulis bahkan mengubah organisasi dari holding company ke president office. Handaka mampu menghidupkan kembali proyek Senayan City yang macet. Handang diminta mengawal BBG untuk go public.s
Keempat, bisa diterima seluruh anggota keluarga. Malah ada pula profesional yang mendapat kepercayaan lebih besar, yakni membimbing anggota keluarga agar kelak mampu memimpin perusahaan. Ini dialami oleh Sulis, Handang, dan Eddy. “Saya juga ditugasi membimbing generasi ketiga, agar mereka memahami sejarah dan filosofi perusahaan agar bisa mempertahankan eksistensi grup ini,” ungkap Sulis.
Eddy pun begitu. Saat ini, Olympic sedang menjalani masa transisi. “Anak Pak Au dan adiknya tengah belajar agar mampu mengelola perusahaan,” kata Eddy.
Begitulah, memang tak mudah menjadi eksekutif profesional di perusahaan keluarga.

KUNCI SUKSES PROFESIONAL DI PERUSAHAN KELUARGA
Loyal dan Menjaga Kredibilitas
Mereka bukan tipe kutu loncat. Gandi Sulistiyanto, Handang Agusni dan Eddy Gunawan bisa mencapai posisinya setelah lebih dari 10 tahun bekerja.

Tidak lari ketika perusahaan menghadapi masalah.
Eddy dan Gandi berada di garda depan bertemu dengan para kreditur untuk meminta restrukturisasi utang.

Mampu membawa perubahan yang signifikan pada perusahaan.
Handaka menghidupkan kembali proyek yang macet dan beroperasi tepat waktu. Gandi dan Eddy berhasil membuat perusahaan selamat dari krisis. Handang membuat sistem administrasi dan personalia umum yang sesuai dengan ketenagakerjaan.

Tulisan ini dimuat di Majalah Fortune Indonesia edisi perdana

3 thoughts on “Profesional di Perusahaan Keluarga

  1. memacu kita untuk bisa lebih baik……..karena didalam bisnis ada saatnya dibawah dan diatas…………..

Leave a reply to naning ayie Cancel reply