Uncategorized

Pemilihan Presiden : Menakar Siapa Paling Neolib

Tulisan ini dibuat menjelang pemilihan presiden 2009.

Dalam pemilihan presiden tahun ini, tiga pasangan kandidat presiden dan wakil presiden mengumbar janji program-program ekonominya. Namun, perdebatan paling mengemuka justru masalah sistem ekonomi yang dianut masing-masing pasangan: neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan. Siapa pasangan capres dan cawapres paling neolib?

Menjelang pemilihan presiden 8 Juli 2009 kata neoliberalisme menjadi semakin populer. Meski populer, kata ini bak momok yang mengerikan dan mengancam bangsa ini. Masing-masing calon presiden (capres ) dan calon wakil presiden (cawapres) serta tim sukses pun alergi bila disebut neolib. Contohnya saja pasangan capres dan cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono yang berusaha menampik tudingan neolib yang selama ini dialamatkan kepada mereka, khususnya Boediono. Untuk mengikis label neolib itu grilya politik dan pendekatan ke beberapa kelompok dan organisasi masyarakat makin aktif digencarkan.

Seperti yang terjadi pada Senin malam (25/5) lalu di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta Pusat, cawapres Boediono (pasangan capres Susilo Bambang Yudhoyono / SBY) melakukan pertemuan dengan para pengusaha Tionghoa. Dalam pertemuan itu nampak hadir pengusaha seperti Alim Markus (presiden direktur Maspion Group), Siti Hartati Murdaya (pemilik Central Cipta Murdaya Group), dan A.B. Susanto (managing director The Jakarta Consulting Group). Rizal Mallarangeng, salah seorang anggota tim sukses SBY-Boediono, juga hadir mendampingi Boediono. Pertemuan tersebut tertutup dan hanya beberapa media yang mengendus acara yang berlangsung kurang lebih dua jam itu. “Ini acara tertutup,” ujar salah satu satpam di pertemuan itu.

Malam sebelumnya justru SBY sendiri yang hadir. Namun, saat itu kapasitas SBY hadir bukan sebagai calon presiden, melainkan sebagai Presiden yang membuka acara Konferensi ke-5 Federasi Perkumpulan Guangdong Sedunia. Momen itu tidak disia-siakan oleh tim sukses SBY-Boediono untuk meraih simpati dari para pengusaha Tionghoa. Oleh karena itulah, Senin malam giliran Boediono yang hadir. Pertemuan ini nampaknya dilakukan untuk “mendekatkan” Boediono kepada para pengusaha Tionghoa.

Menurut A. B. Susanto, malam itu Boediono memaparkan visi dan program-program yang akan dijalankannya jika nanti terpilih menjadi wakil presiden. ”Kami makan malam dan bincang-bincang tentang programnya,” jelas Susanto. Ungkapan senada juga dilontarkan oleh bos Maspion Alim Markus. “Kebetulan Boediono itu kan dari bank sentral, sementara kami ini kebanyakan dari sektor riil. Jadi, perlu bincang-bincang agar saling kenal,” ujarnya.

Tudingan Neolib

Boediono boleh dibilang merupakan sosok yang paling banyak sorotan dan menarik perhatian pada pemilihan presiden tahun ini. Pasalnya, banyak kalangan menjuluki pria kelahiran Blitar, 25 Februari 1943 ini sebagai tokoh neolib atau penganut paham neoliberalisme. Saat SBY menunjuknya sebagai calon wakil presiden pasangannya, kontan demonstrasi di beberapa tempat bermunculan dan pada intinya menolak tampilnya Boediono. Bahkan, dalam salah satu spanduknya, mereka menyatakan lebih rela dipimpin oleh seorang pelawak terkenal bernama mirip dibanding bakal dipimpin seorang Boediono. Dibanding Boediono, para capres dan cawapres lain yang mencalonkan diri tak mendapat respon senegatif itu.

Sepak terjang yang dilakukan oleh Boediono selama ini dianggap oleh beberapa kalangan sebagai cerminan seorang neolib. Pengamat ekonomi Revrisond Baswir adalah salah seorang yang menganggap Boediono sebagai seorang neolib. Dalam sebuah kesempatan, Revrisond mengatakan selama Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan dan kemudian Menko Perekonomian, Undang-Undang yang dilahirkan adalah UU yang pro investor asing. UU itu mencakup UU Migas, UU Kelistrikan, hingga UU Penanaman Modal. Selain itu, selama Indonesia berada dalam program Dana Moneter Internasional (IMF) Boediono hampir selalu di dalam pemerintahan.

Pencitraan neolib inilah yang hendak dikikis oleh tim sukses SBY-Boediono. Untuk mengikis citra ini tentu bukan perkara mudah, karena itulah pendekatan ke berbagai kelompok dan golongan terus dilakukan termasuk kepada para pengusaha Tionghoa.

Perbedaan Program Ekonomi
Namun, bila bicara tentang program ekonomi, pasangan SBY-Boediono nampak yang paling konservatif dalam membuat target pertumbuhan ekonomi. Mereka hanya memasang angka 7% sampai tahun 2014. “Kami targetkan pertumbuhan 7%,” ujar SBY dalam dialog antara capres dan Kadin yang berlangsung di Jakarta, Rabu (20/5) lalu. SBY mengaku dirinya bersikap realistis di tengah kondisi perekonomian global yang sedang mengalami krisis ini, sehingga ia tidak muluk-muluk dalam menetapkan target pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, menurut SBY, pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan pemerataan. Dalam kesempatan itu SBY juga secara tegas menangkis tanggapan bahwa dirinya adalah penganut neoliberalisme atau bagian dari Washington Concensus. “Saya jelaskan disini bahwa saya tidak menganut neoliberalisme ataupun Washington Concensus. Yang bilang seperti itu tidak mengerti,” tegas SBY. Dia pun menolak jika ekonomi Indonesia menganut pasar bebas, meskipun tidak menampik bahwa pasar global menganut pasar bebas. Menurutnya, di Indonesia campur tangan pemerintah tetap dibutuhkan untuk melindungi ekonomi rakyat.

Sedangkan dalam dialog khusus yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun TV swasta Rabu (20/5) lalu, Boediono mengatakan akan memperkuat usaha kecil menengah (UKM). “Ini sangat penting. Pelajaran dari praktek yang saya alami, kita perlu memperkuat UKM dengan cara memperkuat masing-masing elemen, termasuk soal sinergi, koordinasi, serta sub-sub program yang bermuara pada tujuan sama mengintegrasikan UKM dengan baik,” tegasnya.

Adapun pasangan Megawati-Prabowo Subianto (Mega-Pro) mencanangkan target pertumbuhan ekonomi hingga dua digit, yakni 10 – 12%. Untuk mencapai pertumbuhan itu ada beberapa langkah yang akan dilakukan pasangan Mega-Pro. Pertama, menggenjot pembangunan infrastruktur untuk memacu kegiatan perekonomian. Kedua, meningkatkan ekonomi kerakyatan dan kemandirian dengan mengutamakan barang-barang produksi dalam negeri. Ketiga, melakukan nasionalisasi dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Pasangan ini juga akan mengandalkan pembangunan ekonomi yang fokus pada sektor pangan, energi dan pasar domestik yang besar.

Dalam sebuah kesempatan, Fadli Zon, sekretaris tim sukses Mega-Prabowo, mengatakan pasangan Mega-Pro jika nanti terpilih akan melakukan penjadwalan ulang utang karena saat ini APBN terlalu dibebani dengan utang luar negeri. “APBN saat ini tidak sehat, karena 40% digunakan untuk membayar utang dan subsidi,” ujarnya. Nantinya, dana yang seharusnya digunakan untuk membayar utang akan dialihkan untuk membiayai proyek infrastruktur dan program ekonomi berbasis kerakyatan.

Sementara itu, duet Jusuf Kalla – Wiranto (JK-Win) mematok target pertumbuhan sebesar 8%. “Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8%,” ujar Jusuf Kalla ketika tampil di dalam dialog dengan pengusaha yang diselenggarakan oleh Kadin, Senin (18/5) lalu. Adapun strategi yang akan ditempuh pasangan ini adalah mempercepat proyek-proyek infrastruktur, stabilitas politik dan keamanan, serta investasi.

Kalla, yang memiliki slogan kampanye “Lebih Cepat Lebih Baik”, mengungkapkan sebagian proyek infrastruktur bisa terpenuhi pada 2010. Misalnya program pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap pertama. Jusuf Kalla juga menjanjikan ingin mengurangi ketergantungan terhadap asing. “Bangsa kita memang tidak harus tergantung dana dan bantuan asing. Kita butuh investasi asing, tapi harus beri nilai tambah. Jangan hanya yang lari saat krisis,” tegasnya.

Penjadwalan ulang utang luar negeri juga menjadi salah satu agenda pemerintahan JK-Win. Hal tersebut diungkapkan Bambang Soesatyo, anggota tim sukses JK-Wiranto. Menurut Bambang, hal ini dilakukan agar target pertumbuhan ekonomi hingga 8% – 9% bisa dicapai. “Dana untuk membayar utang itu akan digunakan untuk membangun infrastruktur,” ucapnya. Selain itu, untuk membiayai APBN, pasangan JK-Wiranto memastikan akan mengevaluasi kontrak-kontrak migas yang dinilai merugikan. Sehingga, devisa Indonesia bakal meningkat.

Sofjan Wanandi, ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, terang-terangan mendukung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto. “Para pengusaha sudah dipastikan memberikan dukungan kepada JK-Win,” tandasnya. Sofjan melihat selama ini terbukti bahwa JK berani mengambil kebijakan serta melakukan terobosan guna mengatasi kendala-kendala dalam pembangunan sektor perekonomian. Misalnya, pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 10.000 megawatt, pelabuhan, jalan tol, hingga menyangkut kendala perizinan yang sering dikeluhkan pengusaha dan masyarakat luas.

“Kita membutuhkan figur seperti JK karena cepat dalam mengambil keputusan. Bila ada kendala seperti di birokrasi, JK berani mengambil tindakan cepat agar kebijakan yang dijalankan tidak lamban,” ujar Sofjan penuh semangat. Apapun alasannya, lanjut Sofjan, orang tahu betul apa yang dilakukan JK selama lima tahun di pemerintahan. “Banyak yang telah dilakukannya dalam merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi. Misalnya dalam percepatan pembangunan infrastruktur. Bila ada kendala, langsung diatasinya dengan berani dengan memberikan jaminan,” terang Sofjan.

Menurut Sofjan, dalam pemilihan presiden kali ini, bidang perekonomian jelas menjadi hal penting dan utama dalam kemajuan bangsa ke depan. Apalagi jika melihat perekonomian bangsa yang masih tertinggal dari banyak negara lain. Sumber daya alam yang luar biasa di negeri ini perlu dikuasai oleh bangsa sendiri. “Kita tidak bisa terus-menerus ikut bangsa asing,” tegas Sofjan.

Sementara itu, Erwin Aksa, ketua umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, mencoba menilai ketiga pasangan capres dan cawapres secara lebih berimbang. “Semua punya kelebihan dan kekurangan,” paparnya. Dari hasil dialog ketiga pasangan dengan Kadin, Erwin menyimpulkan JK terlihat sangat teknis sekali dan SBY sistematis dalam memberikan penjelasan. Sedangkan Megawati, penjelasannya makro dan jawabannya masih perlu dipertajam lagi karena banyak pertanyaan teknis. “Kebetulan Mega background-nya bukan ekonom. Mungkin jawaban dari Prabowo bisa jadi lebih tajam,” papar Erwin.

Bagi Erwin, siapapun presidennya nanti, yang jelas banyak pengusaha menginginkan keadilan atau fairness. Perlu ada keseimbangan antara pengusaha dan para pekerja. “Selain itu, mereka juga memberi kesempatan kepada pengusaha-pengusaha lokal agar lebih bisa meningkatkan usahanya,” jelasnya.

Capres dan Cawapres Paling Neolib
Dari program-program kebijakan ekonomi yang dijanjikan ketiga pasangan capres dan cawapres secara singkat tersebut, nampak jelas bahwa ada dua hal penting yang menjadi pembeda ketiga pasangan di bidang ekonomi. Pertama adalah masalah target pertumbuhan ekonomi. Kedua, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Masing-masing pasangan capres dan cawapres memiliki pandangan sendiri-sendiri terhadap kedua hal itu.

Namun, masalah pilihan platform sistem ekonomi yang dianut ketiga pasangan itu juga hangat diperbincangkan publik belakangan ini, tak terkecuali bagi kalangan pebisnis, yaitu apakah mereka pro neoliberalisme atau pro ekonomi kerakyatan. Sesuai hasil kajian Warta Ekonomi terhadap beberapa segi (variabel) dari program-program kebijakan ekonomi yang disodorkan masing-masing pasangan capres-cawapres, maka terlihat bahwa pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto berkecenderungan penuh mengusung sistem ekonomi kerakyatan, sementara pasangan Jusuf Kalla-Wiranto berkecenderungan mengusung program yang lebih berat atau pro pada ekonomi kerakyatan. Adapun pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, apabila dilihat dari beberapa segi (variabel) yang dikumpulkan Warta Ekonomi, berkecenderungan mengusung neoliberalisme pada perekonomian Indonesia. (lihat tabel “Program Pasangan Capres-Cawapres: Siapa yang Paling Neolib?”)

Akan tetapi, bila melihat catatan masa lalu ketiga pasangan capres dan cawapres, terutama dari kebijakan-kebijakan yang diambil dan dilaksanakan pada saat mereka duduk sebagai pejabat pemerintahan, maka nampak jelas bahwa platform ekonomi yang dibangun masing-masing pasangan capres dan cawapres sama-sama cenderung ke arah neoliberalisme. Dengan catatan, karena Prabowo Subianto dan Wiranto belum pernah menjadi pejabat pemerintah yang terkait langsung dengan kebijakan ekonomi, maka berdasarkan program yang dicanangkan keduanya, terlihat Prabowo cenderung akan menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai fundamen ekonomi nasional dan Wiranto cenderung banyak programnya yang mengarah pada visi kerakyatan. (lihat tabel “Track Record Pasangan Capres-Cawapres: Siapa yang Paling Neoliberal?”).

Menanggapi perdebatan platform sistem ekonomi yang dianut ini, capres Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan dirinya bukanlah termasuk kaum ultranasionalis yang memandang nasionalisme secara sempit. Akan tetapi, ia juga menyatakan bahwa dirinya pun anti neoliberalisme yang dinilainya tidak cocok dengan kondisi negara Indonesia. “Mudah-mudahan Kadin suatu saat mengundang saya lagi untuk mendiskusikan apa neolib itu. Supaya tidak latah orang mengatakan neolib. Kita semua saya kira bukan penganut paham yang tidak cocok. Bagi kita , yang terbaik untuk rakyat, tidak melanggar UUD, membawa manfaat yang nyata, dan tidak terperangkap pada ideologi. Motto saya, pembangunan untuk semua,” pungkasnya.

Fadil Hasan pengamat ekonomi INDEF memiliki penilaian tersendiri terhadap masing-masing capres. Menurutnya ada tiga aspek yang ia amati yakni peran negara dalam ekonomi, kebijakan perdagangan dan investasi, serta kebijakan makro ekonomi. Dari tiga aspek tersebut Fadil menilai SBY adalah sosok yang berorientasinya pada pasar. Bagi SBY ketahanan negara tetap ada tapi terbatas. Pemerintah sebagai regulator berperan dalam memastikan bahwa aturan berjalan degan baik. Dalam hal investasi, SBY akan lebih aktif membuat kerjasama perdagangan dan membuka investasi dari luar. “Dari sisi makro ekonomi SBY orientsinya pada stabilitas, seperti menjaga inflasi, sehingga pelaku usaha bisa bergerak baik,”paparnya.
Sedangkan Megawati dalam pengamatan Fadil adalah sosok yang akan menerapkan pasar terbatas dan peran negara dalam ekonomi lebih besar. Megawati juga akan melakukan banyak proteksi terhadap industri dalam negeri. “Di sektor makro Mega akan melakukan ekspansi besar-besaranan untuk menggerakkan sektor riil,” cetusnya. Sementara sosok JK, Fadil menilai JK tidak anti pasar dan JK akan membiarkan pasar bekerja dengan baik. Pemerintah harus punya alternatif action jika pasar tidak berfungsi baik. Pemerintah berperan dalam mengembangkan pasar.Investasi membawa indonesia tetap berpartisipasi dalam berbagai perjanjian ekonomi tapi tidak membuat kebijakan yang protektif. Mengenai stabilitas bagi JK penting tapi bukan utama hanya faktor pendukung untuk menggerakan sektor riil.###

Kadar Neoliberalisme Para Capres dan Cawapres di Mata Pengamat

1. Revrisond Baswir, Pengamat Ekonomi UGM
“Merujuk pasal 33 UUD 1945, institusi yang wajib dikembangkan adalah koperasi. Jadi, koperasi merupakan cara wajib ekonomi kerakyatan. Tapi, ketiga capres itu tidak menyebut soal koperasi. Artinya, tidak mengusung ekonomi kerakyatan. Padahal negara berkewajiban mengembangkan koperasi. Akan tetapi, tidak ada capres-cawapres yang membicarakan koperasi dalam visi-misinya. Memang mereka membicarakan UKM, tetapi koperasinya hilang.
Begitu juga dengan pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selama ini hal tersebut tidak dijalankan dengan baik. Justru paham neoliberalisme bisa terlihat dari sejumlah kebijakan privatisasi BUMN. Ketiga capres yang akan maju sangat kental dengan agenda privatisasi BUMN tersebut. Ketiga capres semuanya mantan orang dalam pemerintahan, sehingga sulit mengubah neoliberalisme itu. Tiga capres itu tidak meyakinkan kita kalau mereka bisa menjalankan ekonomi kerakyatan.” (Diskusi Neolib dan Ekonomi Kerakyatan, Rumah Perubahan, 25 Mei 2009)

2. Rizal Ramli, Chairman ECONIT
“Rekam jejak para tokoh itu ketika menjabat sebagai petinggi negara menjadi bukti yang jelas bahwa mereka pengikut ekonomi neoliberal. Pada pemerintahan SBY ada tiga fakta, yaitu bantuan langsung tunai (BLT), sektor perdagangan, dan UU Bank Indonesia. Di sektor perdagangan, di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, pemerintah melindungi industri rotan dalam negeri dengan melarang ekspor rotan mentah. Namun, sekarang pemerintah turut ‘bertanggung jawab’ terhadap kehancuran industri furnitur rotan dalam negeri. Sekarang, rotan mentah boleh diekspor. Akibatnya, industri furnitur rotan bangkrut dan Cina menjadi pusat industri rotan. Selain itu, pembahasan UU Bank Indonesia juga akhirnya mereduksi fungsi bank sentral ini sebelumnya untuk menciptakan lapangan kerja. Sekarang, BI hanya berfungsi mengendalikan inflasi dan menjaga kestabilan nilai rupiah.” (Diskusi Jurnalis, Gedung DPD RI, 29 Mei 2009)

3. Andrinof Chaniago, Pengamat Politik UI
“Para pasangan capres dan cawapres masih memberikan janji-janji surga untuk memperbaiki ekonomi Indonesia. Namun, mereka tidak mendapatkan bagaimana cara mewujudkan janji itu. Seperti janji membuka lahan 7 juta hektar bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Pembebasan lahan jelas memerlukan waktu yang lama, Belum lagi janji untuk menurunkan harga BBM, janji itu hanya sebatas janji. Harga BBM itu fluktuatif dan tergantung harga minyak mentah dunia, sehingga tidak bisa ditetapkan. Janji manis lainnya yang disampaikan oleh salah satu pasangan capres-cawapres adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi sampai dua digit ini sulit untuk direalisasikan.” (Diskusi Strategic Indonesia, Wisma Dharmala Sakti 28 Mei 2009)

4. Poltak Hotradero, Pengamat Pasar Modal
“Jika ada yang menjanjikan pertumbuhan hingga dua digit sepertinya sulit untuk dilakukan. Dilihat pertumbuhan investasi di Indonesia baru 15-20%, kalau mau pertumbuhan double digit investasi harus digenjot 100%. Dan, untuk mencapai investasi 100% adalah hal yang mustahil karena Indonesia tidak mempunyai sumber dana. Kalau mau utang banyak juga tidak boleh, karena dalam undang-undang diatur utang tidak boleh lebih besar dari pertumbuhan ekonomi. Soal ekonomi kerakyatan, sebenarnya Indonesia ini memang sudah berekonomi kerakyatan karena 62% penopang perekonomian Indonesia adalah dari konsumsi rakyatnya sendiri.” (Diskusi Strategic Indonesia, Wisma Dharmala Sakti 28 Mei 2009)

5. Fadjroel Rachman, Ketua Pedoman Indonesia
“Semuanya itu agen neoliberalisme. SBY, JK dan Megawati, menjual blok minyak dan gas, menjual BUMN dan berutang massif. Megawati membuat kontrak blok gas Tangguh, yang berpotensial merugikan negara Rp750 triliun (25 tahun), menjual murah Indosat sekitar Rp5,26 triliun kepada Temasek Holding, dijual lagi kepada Qtel (Qatar) senilai Rp1,8 miliar dollar AS dan penguasaan Indosat oleh Qtel diizinkan oleh SBY-JK hingga 65%. SBY-JK juga menjual BUMN seperti, PT Garuda Indonesia, PT Karakatau Steel, PT Bank Tabungan Negara, PT Yogya Karya dan PTPN III, IV dan VIII. Bahkan, SBY-JK selama 26 Mei 2008-5 Mei 2009 menjual 59 blok migas, akibatnya dari total produksi minyak Indonesia (September 2008) sebesar 850.982 barel per hari, Chevron Pacific Indonesia menguasai 425.478 barel per hari, sedangkan Pertamina hanya 108.233 barel per hari.

Parahnya lagi, pinjaman luar negeri (PLN) dan surat berharga negara (SBN) hingga 31 Januari 2009, total utang pemerintah adalah Rp1.667 triliun pada masa Megawati dan SBY-JK. Selama tahun 2001-2009 PLN bertambah, masing-masing, bertambah 602 (2001), 594 (2002), 591 (2003), 613 (2004), 612 (2005), 562 (2006), 586 (2007), 717 (2008) dan 746 (2009). Sedangkan SBN bertambah 661 (2001), 655 (2002) 649 (2003), 662 (2004), 656 (2005), 748 (2006), 801 (2007), 906 (2008) dan 920 (2009). “Jadi total utang pemerintah (PLN dan SBN) masing-masing, 1.263 (2001), 1.249) (2002), 1.240 (2003), 1.275 (2004), 1.268 (2005), 1.310 (2006), 1.387 (2007), 1.623 (2008) dan 1.667).Utang dan SBN senilai Rp1.263 triliun (2001) adalah hutang haram Orba dan KLBI senilai Rp144 triliun dan BLBI senilai Rp600 triliun lebih (Boediono salah satu Direktur BI) serta sejumlah proyek yang merugikan masyarakat seperti Bendungan Kedung Ombo.” (WASPADA ONLINE, Minggu 17 May 2009)

6. Tjipta Lesmana,Pengamat Politik & Pakar Komunikasi Politik
“Neoliberal di negara kitatampaknya mulai berkibar setelah Orde Baru runtuh.Maka,pemerintahan Megawati—juga Habibie dan Gus Dur—sesungguhnya juga berwatak neolib.Penjualan(bahasakerennya: privatisasi) BUMN digenjot habishabisan pada era Megawati.Campur asing dalam perekonomian terasa sekali, misalnya dalam menyusun sebuah undang-undang, atau pengurangan subsidi BBM. Para menteri yang duduk dalam pemerintahan Megawati selalu mengklaim mereka tidak salah.
Penjualan BUMN semata-mata implementasi dari amanat rakyat yang dituangkan dalam Ketetapan MPR ketika itu. Memang Bab IV GBHN 1999–2004 dengan jelas memerintahkan pemerintah untuk “mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar modal monopolistik dan berbagai struktur pasar yang distortif yang merugikan masyarakat. Bukankah amanat MPR ini berwatak neoliberal?. Tentang BUMN,GBHN 1999–2004 juga menegaskan, bagi badan usaha milik negara yang usahanya tidak berkaitan dengankepentingan umum didorong untuk privatisasi melalui pasar modal. Dengan “senjata” TAPMPR tentang GBHN ini pemerintahan Gus Dur dan Megawati pun melego banyak BUMN.” (Harian Seputar Indonesia, Rabu 29 Mei 2009)

Leave a comment